Selamat malam.
Hari ini saya sudah mulai berkegiatan lagi di kampus. Agak
berbeda rasanya, sudah semester delapan. Secara kuantitas dan kewajiban
harusnya menjadi semester terakhir saya di bangku kuliah. Tapi, agaknya mungkin
bangku kuliah ini tidak akan tepat saya lewati dengan jangka waktu delapan
semester.
Saya sedang berada di titik keputus asaan. Ya, memang,
hal-nya sepele. Hanya karena banyaknya coretan revisi dan komentar dosen
pembimbing yang mungkin dilontarkan hanya untuk memacu semangat saya. Tapi
tetap saja, putus asa.
Otomatis saya mengingat jauh ke belakang. Hampir 4 tahun
yang lalu. Saat saya menggantungkan asa untuk berkuliah di Institut Teknologi
Bandung. Dengan harapan akan menjadi insinyur yang sukses, dengan predikat
ganda; Sarjana Teknik dan Lulusan ITB. Dua predikat yang selalu menjadi mimpi
saya. Akan tetapi nasib berkata lain. Singkat cerita, saya harus berada di
Universitas Swasta, cukup ternama di Bandung. Sampai sebelum hari ini, saya
masih sangat yakin bahwa saya akan menjadi seseorang yang sukses dari parameter
diri saya sendiri, meskipun saya hanya lulusan Universitas Swasta. Nilai saya
tidak pernah gemilang, dan saya pun yakin tidak akan menyandang predikat
cumlaude. Tapi saya yakin, saya akan bertahan.
Agaknya, asa tersebut pun menjadi abu-abu. Katakanlah saya
berlebihan. Tapi memang begitu adanya. Saya mencapai titik putus asa.
Kembali saya melihat lingkungan sekitar. Sebagian orang
pasti mendapatkan satu titik kecerahan, satu titik dimana keinginannya
terpenuhi. Entah itu tempat kuliah yang bagus dan favorit, atau se-simple
gadget baru. Tidak terkecuali: seorang yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah,
seorang yang bisa memberikan motivasi, seorang. Dunia mungkin adil bagi mereka,
tidak mendapatkan satu pencapaian, tapi mendapatkan suatu pencapaian di ranah
yang lain.
Tapi belakangan, rasanya tidak ada satupun pencapaian, dan
keinginan diri saya yang terwujud. Satu persatu berguguran. Tempat kuliah yang
diidam-idamkan dari kecil, memimpin suatu organisasi, mencapai angka 4,00
ataupun, sesederhana tempat berlabuh. Tempat berdiskusi, tempat merenung
tentang kesendirian tanpa bisa sendiri, tempat merangkai potongan potongan
hidup menjadi tujuan, tempat menyusun serpihan serpihan ide, menjadi sebuah
visi. Tempat aman.
Ingin rasanya beranggapan jika dunia ini adil. Tapi belakangan,
rasanya memang dunia tidak adil untuk saya. Saya mungkin terdengar seperti
seorang perempuan melankolis yang berlebihan. Tapi Pernahkah Anda merasakan
memiliki untaian kata-kata, bulir-bulir
konsep pemikiran, ataupun kasih sayang yang meruap yang tidak bisa diungkapkan? Rasanya semua ingin diledakkan. Tapi tidak ada tempat. Bukan karena tidak mau, tapi karena tidak ada tempat.
Ingin juga rasanya beranggapan jika dibalik ketidakadilan
ini ada suatu makna. Tapi juga sulit. Saya sudah terlalu egois untuk melihat
sisi terang dari ketidakadilan ini.
Saya lelah. Apakah hikmahnya?
Bukan, bukan itu pertanyaannya.
Adakah hikmahnya?
No comments:
Post a Comment