Beberapa hari yang lalu,
saya berkesempatan untuk menghadiri acara wisuda dari beberapa teman baik
sewaktu SMA. Acara wisuda tersebut diadakan bukan di Gedung Serba Guna
Universitas Katolik Parahyangan (GSG) seperti tahun-tahun sebelumnya, melainkan
acara wisuda diadakan di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Dalam kesempatan
kali ini, saya tidak akan bercerita tentang bagaimana sulitnya menghadiri acara
wisuda di tempat yang tidak familiar, atau tentang bagaimana sulitnya mencari
pintu keluar wisudawan dan wisudawati untuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik dan fakultas lainnya. Bukan juga untuk menceritakan bagaimana sialnya
hari itu karena persis sepulang dari acara tersebut saya mengalami kecelakaan
yang mengharuskan saya berkeliling separuh Bandung di hari Sabtu (yang
kondisinya dapat ditebak: macet) untuk menemukan bengkel. Bukan, bukan hal
sepele tersebut yang ingin saya curahkan disini.
Sepulang dari hari yang
panjang tersebut, tidak ada yang istimewa dari rutinitas di malam harinya.
Menunggu kedua orang tua sampai di rumah untuk kemudian diberikan wejangan
tentang perlunya berhati-hati dalam berkendara. Selebihnya, yang saya ingat
dari sisa hari tersebut adalah diri sendiri yang meringkuk di bawah selimut,
berpikir keras.
Saya terus berpikir dan
mengingat. Mengulang-ulang memori di pagi hari saat saya memberikan bunga-bunga
cantik kepada teman-teman yang juga tidak kalah cantik dan manis di hari
istimewa mereka tersebut. Mereka telah meraih sesuatu. Saya ingat seorang teman
baik, yang berada dalam satu kelas dengan saya selam dua tahun terakhir di
bangku SMA. Kemampuan saya dan dia dalam bidang akademik tidak terlampau jauh.
Pada akhirnya kami berada di kampus yang sama, akan tetapi berada di program
studi yang berbeda. Dia di Ekonomi (Akuntasi) dan saya di FTI (Teknik Kimia).
Di awal perkuliahan, kami sama-sama terpuruk, dikarenaka tidak berhasil masuk
ke program studi yang kami inginkan. Akan tetapi, pada akhirnya dia berhasil
lulus dengan IPK yang cukup tinggi dalam kurun waktu yang cukup cepat. Lalu
adapula teman baik yang berada di program studi Hubungan Internasional, lulus
dengan IPK 3,65 dan (juga) dengan kurun waktu yang cukup cepat. Belum lagi
mengingat teman teman di Universitas lain yang sebelumnya juga sudah sampai
pada tahap wisuda. Dan tidak hanya dalam bidang akademik, teman-teman lain pun
sudah cukup banyak yang mencapai suatu pencapaian tertentu di bidang
masing-masing.
Lalu saya bertanya pada
diri sendiri, apa yang sudah saya capai selama ini? Pertanyaan tersebut
cukup membuat saya tertegun lama. Kehidupan kuliah saya biasa-biasa saja.
Secara akademik, saya tidak bodoh akan tetapi tidak pula mencapai suatu prestasi
yang gemilang. Secara non-akademik, saya hanya pernah menjabat sebagai staff
Lembaga Kepresidenan Mahasiswa (Badan Eksekutif Mahasiswa), dan itupun hanya
memegang satu acara yang bahkan tidak terlalu “populer” di kalangan mahasiswa.
Saya gagal dalam pencalonan Ketua Himpunan dan semenjak saat itu, saya tidak
lagi menjadi sesuatu yang memegang peranan penting di wilayah kampus. Saya
tidak brilian, rasanya tidak ada pencapaian yang saya raih selama hampir 4
tahun berada bangku kuliah. Fakta ini membuat saya sangat gusar. Saya merasa
penilaian orang orang kepada saya jauh lebih tinggi dibandingkan apa yang ada
di diri saya sebenarnya. Hal itu membuat tekanan yang ada dalam diri semakin
tinggi. Tidak ada pencapaian, dan tidak ada bukti bahwa saya memenuhi standar penilaian
orang-orang terhadap saya.
Saya terus berpikir.
Pada akhirnya saya mencapai sebuah kesimpulan, bahwa saya lupa bahwa saya
memiliki goal atau tujuan. Hal ini lah yang membuat saya
merasa bahwa selama ini tidak ada pencapaian yang saya raih. Dari tahun ketiga
di kuliah, saya sudah membulatkan tekad untuk melanjutkan studi jenjang
magister setelah lulus menjadi sarjana. Meskipun masih mencari ingin
melanjutkan pada fokus studi apa, akan tetapi tujuan saya selanjutnya adalah
melanjutkan S2. Baik itu bisnis, hukum maupun kembali mendalami teknik kimia.
Saya lupa bahwa saya memiliki tujuan tersebut. Dan yang paling bahaya, saya
tidak sabar. Sepertinya akan lebih mudah bagi saya untuk menyampaikan hal-hal
ini dengan meringkasnya menjadi poin-poin:
1. Pertama, saya merasa tidak memiliki pencapaian apapun selama
ini. Padahal, hal itu bisa saya rasakan karena saya sendiri tidak memiliki
tujuan, sehingga saat mencapai sesuatu, rasanya seperti bukan apa-apa. Sebagai
contoh, saya merasa menjadi staff LKM bukan merupakan pencapaian, padahal jika
saya memiliki tujuan (sebagai contoh tujuan saya untuk berorganisasi), maka
menjadi staff LKM dirasa merupakan bukan suatu pencapaian.
2. Kedua, setelah lebih dalam lagi merenung,
ternyata saya punya satu tujuan, yaitu melanjutkan S2. Bukan, ini bukan
merupakan rencana, karena melanjutkan S2 merupakan pilihan dan belum tentu
semua orang ingin melakukannya. Saya ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang
S2.
3. Terakhir, saya sadar bahwa saya tidak sabar
dalam menghadapi proses ini. Secara tidak sadar, saya sedang dalam proses
menuju tujuan saya tersebut dengan menyelesaikan terlebih dahulu program
sarjana yang sedang saya jalani. Saya tidak sabar, karena itu saya merasa saya
tidak membuat progress dan tidak menjalani proses, padahal setiap harinya saya
melakukan hal-hal tersebut.
Agaknya sangat tidak
valid apabila saya memberikan tips bagaimana mencapai goals, karena
saya pun masih berusaha untuk mengingat dan mencapai goal milik
saya sendiri. Akan tetapi, jika diperbolehkan memberi sedikit masukan, berikut
yang ingin saya sampaikan:
1. Jangan membandingkan diri dengan orang lain.
Saat saya melihat teman-teman yang telah lulus dengan waktu yang singkat, saya
membandingkan diri dengan mereka dan pada akhirnya saya merasa tidak memiliki
pencapaian apapun. Padahal, goal ataupun tujuan saya berbeda
dengan mereka. Mungkin mereka sudah mencapai goal yang mereka
tetapkan, dan saya belum. Tapi perlu diingat bahwa goal yang
saya tetapkan pun berbeda dengan mereka. Saya bukan tipe orang yang optimis
saat membandingkan diri, dan untuk orang dengan tipe kepribadian seperti saya,
membandingkan diri dengan orang lain hanya akan menghasilkan pemikirian
pemikiran destruktif.
2. Patience is the key. Sabar adalah
kuncinya. Jangan terburu-buru, karena dengan terburu-buru maka akan
menghasilkan tindakan yang tidak berarti.
3. Hargai proses dan progress yang sudah terjadi,
sedikit apapun itu.
Hal tersebut merupakan
hasil dari renungan saya di bawah selimut. Saya yakin jikalau ada yang membaca
ini, belum tentu tulisan ini akan membantu. Oleh karena itu, hal terakhir yang
ingin saya sampaikan adalah, selamat berjuang untuk saya, dan Anda yang membaca
ini, semoga saya dan Anda dapat menjadi seseorang dengan tujuan yang satu
persatu dapat dicapai.