Tuesday, 3 March 2015

Renungan Selimut

Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan untuk menghadiri acara wisuda dari beberapa teman baik sewaktu SMA. Acara wisuda tersebut diadakan bukan di Gedung Serba Guna Universitas Katolik Parahyangan (GSG) seperti tahun-tahun sebelumnya, melainkan acara wisuda diadakan di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga).  Dalam kesempatan kali ini, saya tidak akan bercerita tentang bagaimana sulitnya menghadiri acara wisuda di tempat yang tidak familiar, atau tentang bagaimana sulitnya mencari pintu keluar wisudawan dan wisudawati untuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan fakultas lainnya. Bukan juga untuk menceritakan bagaimana sialnya hari itu karena persis sepulang dari acara tersebut saya mengalami kecelakaan yang mengharuskan saya berkeliling separuh Bandung di hari Sabtu (yang kondisinya dapat ditebak: macet) untuk menemukan bengkel. Bukan, bukan hal sepele tersebut yang ingin saya curahkan disini.

Sepulang dari hari yang panjang tersebut, tidak ada yang istimewa dari rutinitas di malam harinya. Menunggu kedua orang tua sampai di rumah untuk kemudian diberikan wejangan tentang perlunya berhati-hati dalam berkendara. Selebihnya, yang saya ingat dari sisa hari tersebut adalah diri sendiri yang meringkuk di bawah selimut, berpikir keras.

Saya terus berpikir dan mengingat. Mengulang-ulang memori di pagi hari saat saya memberikan bunga-bunga cantik kepada teman-teman yang juga tidak kalah cantik dan manis di hari istimewa mereka tersebut. Mereka telah meraih sesuatu. Saya ingat seorang teman baik, yang berada dalam satu kelas dengan saya selam dua tahun terakhir di bangku SMA. Kemampuan saya dan dia dalam bidang akademik tidak terlampau jauh. Pada akhirnya kami berada di kampus yang sama, akan tetapi berada di program studi yang berbeda. Dia di Ekonomi (Akuntasi) dan saya di FTI (Teknik Kimia). Di awal perkuliahan, kami sama-sama terpuruk, dikarenaka tidak berhasil masuk ke program studi yang kami inginkan. Akan tetapi, pada akhirnya dia berhasil lulus dengan IPK yang cukup tinggi dalam kurun waktu yang cukup cepat. Lalu adapula teman baik yang berada di program studi Hubungan Internasional, lulus dengan IPK 3,65 dan (juga) dengan kurun waktu yang cukup cepat. Belum lagi mengingat teman teman di Universitas lain yang sebelumnya juga sudah sampai pada tahap wisuda. Dan tidak hanya dalam bidang akademik, teman-teman lain pun sudah cukup banyak yang mencapai suatu pencapaian tertentu di bidang masing-masing.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri,  apa yang sudah saya capai selama ini? Pertanyaan tersebut cukup membuat saya tertegun lama. Kehidupan kuliah saya biasa-biasa saja. Secara akademik, saya tidak bodoh akan tetapi tidak pula mencapai suatu prestasi yang gemilang. Secara non-akademik, saya hanya pernah menjabat sebagai staff Lembaga Kepresidenan Mahasiswa (Badan Eksekutif Mahasiswa), dan itupun hanya memegang satu acara yang bahkan tidak terlalu “populer” di kalangan mahasiswa. Saya gagal dalam pencalonan Ketua Himpunan dan semenjak saat itu, saya tidak lagi menjadi sesuatu yang memegang peranan penting di wilayah kampus. Saya tidak brilian, rasanya tidak ada pencapaian yang saya raih selama hampir 4 tahun berada bangku kuliah. Fakta ini membuat saya sangat gusar. Saya merasa penilaian orang orang kepada saya jauh lebih tinggi dibandingkan apa yang ada di diri saya sebenarnya. Hal itu membuat tekanan yang ada dalam diri semakin tinggi. Tidak ada pencapaian, dan tidak ada bukti bahwa saya memenuhi standar penilaian orang-orang terhadap saya.

Saya terus berpikir. Pada akhirnya saya mencapai sebuah kesimpulan, bahwa saya lupa bahwa saya memiliki goal atau tujuan. Hal ini lah yang membuat saya merasa bahwa selama ini tidak ada pencapaian yang saya raih. Dari tahun ketiga di kuliah, saya sudah membulatkan tekad untuk melanjutkan studi jenjang magister setelah lulus menjadi sarjana. Meskipun masih mencari ingin melanjutkan pada fokus studi apa, akan tetapi tujuan saya selanjutnya adalah melanjutkan S2. Baik itu bisnis, hukum maupun kembali mendalami teknik kimia. Saya lupa bahwa saya memiliki tujuan tersebut. Dan yang paling bahaya, saya tidak sabar. Sepertinya akan lebih mudah bagi saya untuk menyampaikan hal-hal ini dengan meringkasnya menjadi poin-poin:
1. Pertama, saya merasa tidak memiliki pencapaian apapun selama ini. Padahal, hal itu bisa saya rasakan karena saya sendiri tidak memiliki tujuan, sehingga saat mencapai sesuatu, rasanya seperti bukan apa-apa. Sebagai contoh, saya merasa menjadi staff LKM bukan merupakan pencapaian, padahal jika saya memiliki tujuan (sebagai contoh tujuan saya untuk berorganisasi), maka menjadi staff LKM dirasa merupakan bukan suatu pencapaian.
2.    Kedua, setelah lebih dalam lagi merenung, ternyata saya punya satu tujuan, yaitu melanjutkan S2. Bukan, ini bukan merupakan rencana, karena melanjutkan S2 merupakan pilihan dan belum tentu semua orang ingin melakukannya. Saya ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang S2.
3.    Terakhir, saya sadar bahwa saya tidak sabar dalam menghadapi proses ini. Secara tidak sadar, saya sedang dalam proses menuju tujuan saya tersebut dengan menyelesaikan terlebih dahulu program sarjana yang sedang saya jalani. Saya tidak sabar, karena itu saya merasa saya tidak membuat progress dan tidak menjalani proses, padahal setiap harinya saya melakukan hal-hal tersebut.

Agaknya sangat tidak valid apabila saya memberikan tips bagaimana mencapai goals, karena saya pun masih berusaha untuk mengingat dan mencapai goal milik saya sendiri. Akan tetapi, jika diperbolehkan memberi sedikit masukan, berikut yang ingin saya sampaikan:
1.  Jangan membandingkan diri dengan orang lain. Saat saya melihat teman-teman yang telah lulus dengan waktu yang singkat, saya membandingkan diri dengan mereka dan pada akhirnya saya merasa tidak memiliki pencapaian apapun. Padahal, goal ataupun tujuan saya berbeda dengan mereka. Mungkin mereka sudah mencapai goal yang mereka tetapkan, dan saya belum. Tapi perlu diingat bahwa goal yang saya tetapkan pun berbeda dengan mereka. Saya bukan tipe orang yang optimis saat membandingkan diri, dan untuk orang dengan tipe kepribadian seperti saya, membandingkan diri dengan orang lain hanya akan menghasilkan pemikirian pemikiran destruktif.
2.    Patience is the key. Sabar adalah kuncinya. Jangan terburu-buru, karena dengan terburu-buru maka akan menghasilkan tindakan yang tidak berarti.
3.     Hargai proses dan progress yang sudah terjadi, sedikit apapun itu.


Hal tersebut merupakan hasil dari renungan saya di bawah selimut. Saya yakin jikalau ada yang membaca ini, belum tentu tulisan ini akan membantu. Oleh karena itu, hal terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, selamat berjuang untuk saya, dan Anda yang membaca ini, semoga saya dan Anda dapat menjadi seseorang dengan tujuan yang satu persatu dapat dicapai.

Thursday, 12 February 2015

Saya dan Menulis

Menulis bagi saya bukan merupakan suatu hobi ataupun keperluan batin. Lebih jauh lagi, menulis juga bukan merupakan kebutuhan ataupun kewajiban yang harus dilakukan. Dalam kesempatan ini, saya ingin bercerita tentang track record saya dengan kegiatan menulis.

Saat berada di bangku SMA, saya cukup aktif menulis. Saat itu dapat dipastikan hormon-hormon yang dihasilkan tubuh diproduksi dengan jumlah yang sangat banyak. Hormon dopamin dan oksitosin sebagai sumber rasa bahagia akan membuat saya menuliskan untaian-untaian kata indah, puitis dengan diksi yang dipilih dengan sangat hati-hati. Bukan hanya itu, saat munculnya galau (yang mungkin saat itu merupakan kata paling populer di kalangan siswa-siswi SMA), saya bisa berubah menjadi Chairil Anwar dalam semalam. Memang dulu saya sangat suka menulis, bukan ulasan-ulasan politik ataupun pemikiran kritis, akan tetapi sesederhana ungkapan perasaan yang implisit yang disembunyikan dalam kata-kata yang dipilih sebagus mungkin agar terlihat dan terdengar indah. Saya penikmat puisi dan sastra, akan tetapi tidak pernah punya niatan untuk dilihat sebagai orang yang jago dalam menulis. Saya pernah gemar menulis, pernah menjadikan menulis sebagai suatu kebutuhan. Saat itu, media yang saya pilih untuk menulis adalah Tumblr. Sayangnya, dua tahun yang lalu saya memilih untuk menghapus situs Tumblr saya tersebut karena saya rasa isinya sudah terlalu ABG dan tidak layak untuk dibaca. Selain itu, banyak juga untaian kata kata yang saya sendiri hanya memikirkan diksi dibanding perasaan yang hendak saya curahkan dalam akun Twitter, yang juga pada akhirnya saya hapus karena terlalu banyak kalimat-kalimat nonsense yang saya rangkai dalam 140 karakter.
Selama kurang lebih setengah tahun, saya tidak menulis blog. Hanya menjawab beberapa pertanyaan (yang pada akhirnya terlampau panjang dan menyebalkan) di askfm. Akhirnya, pada pertengahan tahun 2014, saya kembali membuka akun blogspot.

Kalau tidak suka menulis, kenapa lalu membuka akun dan menulis blog lagi?
Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya tidak suka menulis, saya suka menulis. Mungkin juga karena Ayah yang juga gemar menulis dari semenjak kuliah. Akan tetapi, bagi saya, menulis hanya merupakan salah satu cara melepaskan beban. Saya merupakan orang yang memilih untuk tidak bergaul dengan banyak orang. Secara kasar, bisa dikatakan bahwa saya cukup mengisolir diri. Bukan berarti saya anti-sosial, akan tetapi saya akui bahwa saya memilih orang yang ingin saya dalami dan saya jadikan teman berdiskusi, dan orang yang saya pilih tersebut tidak banyak. Dengan kata lain, saya banyak menjadikan teman-teman hanya sekedar acquaintances. Dari sekian banyak teman yang saya miliki, mungkin hanya satu sampai dua orang yang bertahan dalam memerankan peran sebagai sahabat (karena bagi saya sahabat memegang peran sebagai partner diskusi pula). Perlu disadari pula bahwa saya adalah pemikir yang kompleks sehingga tak jarang sahabat berdiskusi pun letih mengikuti alur berpikir saya saat sedang berdiskusi.  Salah satu teman diskusi yang setia dan selalu mendengarkan saya, adalah sesuatu yang abstrak dan tidak bernyawa, yaitu kegiatan menulis. 

Setiap kali saya menulis di suatu akun, saya tidak mengharapkan atau berintensi agar ada orang yang membacanya, apalagi saat menginjak bangku kuliah. Kembali saat berada di bangku SMA, kadang masih ada beberapa tulisan yang diniatkan sebagai “kode” ataupun maksud tersembunyi untuk seseorang, berharap seseorang tersebut mampir dan membaca tulisan tersebut. Akan tetapi, sekarang, semua itu sudah benar benar hilang. Saya menulis untuk diri saya sendiri. Menulis merupakan sahabat yang setia menampung sepersekian beban. Menulis merupakan sahabat maya yang mendengarkan dalam diam saat mulut terlalu letih untuk berbicara dengan sahabat  di dunia nyata. Akan tetapi jika nanti ada yang membaca dan merasa terhibur ataupun menikmati, saya pun bersyukur dan senang bisa melakukan hal tersebut. 

Lalu mengapa tidak dibuat saja akun ataupun blog private?

Saya menulis untuk diri saya dan bukan untuk orang lain, akan tetapi bukan berarti saya malu dengan apa yang saya tulis. Saya tidak malu dengan apa yang saya tulis. Menurut saya membuat blog ataupun akun private mengindikasikan adanya perasaan malu.

Begitulah sedikit cerita tentang saya dan menulis. Mungkin saya bukan penulis yang baik, dan saya pun merasa tidak memiliki bakat dalam menulis. Tapi sekali lagi, menulis dapat membantu saya mengangkat sepersekian beban yang terkadang menggayut di kepala saya. 

Saturday, 31 January 2015

What Exactly Are You Doing?

It is Saturday Night. Most of people in my age are doing their things. Having a date, going to movies, and so on. Well you can’t judge me by sitting in one cheap local coffee shop and writing a post on my own blog all by myself, everyone has their own craving and hobbies, right? Right. And I prefer thinking about something rather not important, such as this thing that I would like to share here.
So, lately, I have been asking myself this question:

What are you doing, exactly, Vyt?

No, it is not a rhetorical question. I have been wondering what  I have been doing for the past 21 years of my life. I have been busy with my research lately, and yet, I feel like I’m just hanging out pointlessly in this world.

You see, I have been living my life normally for 21 years. I am not an ambitious person, and I am not an inspirational person. I haven’t done something splendid or something significant like winning something or joining something big. I haven’t done something inspirational either. For example, I have always been digging English since Junior High School and yet, I haven’t gone abroad to actually practice my English, that, is one of the examples. Another example is, I keep myself updated with news around the world, famine issues and global issues and yet, I haven’t done anything to be involved in it.


So my point is, I’m starting to question about my existence in this world. What exactly am I doing? What am I going to do? 

Again, 
What exactly are you doing, Evyta?

Monday, 26 January 2015

Senin, 26 Januari 2015 (19:26)

Selamat malam.
Hari ini saya sudah mulai berkegiatan lagi di kampus. Agak berbeda rasanya, sudah semester delapan. Secara kuantitas dan kewajiban harusnya menjadi semester terakhir saya di bangku kuliah. Tapi, agaknya mungkin bangku kuliah ini tidak akan tepat saya lewati dengan jangka waktu delapan semester.

Saya sedang berada di titik keputus asaan. Ya, memang, hal-nya sepele. Hanya karena banyaknya coretan revisi dan komentar dosen pembimbing yang mungkin dilontarkan hanya untuk memacu semangat saya. Tapi tetap saja, putus asa.

Otomatis saya mengingat jauh ke belakang. Hampir 4 tahun yang lalu. Saat saya menggantungkan asa untuk berkuliah di Institut Teknologi Bandung. Dengan harapan akan menjadi insinyur yang sukses, dengan predikat ganda; Sarjana Teknik dan Lulusan ITB. Dua predikat yang selalu menjadi mimpi saya. Akan tetapi nasib berkata lain. Singkat cerita, saya harus berada di Universitas Swasta, cukup ternama di Bandung. Sampai sebelum hari ini, saya masih sangat yakin bahwa saya akan menjadi seseorang yang sukses dari parameter diri saya sendiri, meskipun saya hanya lulusan Universitas Swasta. Nilai saya tidak pernah gemilang, dan saya pun yakin tidak akan menyandang predikat cumlaude. Tapi saya yakin, saya akan bertahan.

Agaknya, asa tersebut pun menjadi abu-abu. Katakanlah saya berlebihan. Tapi memang begitu adanya. Saya mencapai titik putus asa.

Kembali saya melihat lingkungan sekitar. Sebagian orang pasti mendapatkan satu titik kecerahan, satu titik dimana keinginannya terpenuhi. Entah itu tempat kuliah yang bagus dan favorit, atau se-simple gadget baru. Tidak terkecuali: seorang yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah, seorang yang bisa memberikan motivasi, seorang. Dunia mungkin adil bagi mereka, tidak mendapatkan satu pencapaian, tapi mendapatkan suatu pencapaian di ranah yang lain.

Tapi belakangan, rasanya tidak ada satupun pencapaian, dan keinginan diri saya yang terwujud. Satu persatu berguguran. Tempat kuliah yang diidam-idamkan dari kecil, memimpin suatu organisasi, mencapai angka 4,00 ataupun, sesederhana tempat berlabuh. Tempat berdiskusi, tempat merenung tentang kesendirian tanpa bisa sendiri, tempat merangkai potongan potongan hidup menjadi tujuan, tempat menyusun serpihan serpihan ide, menjadi sebuah visi. Tempat aman.

Ingin rasanya beranggapan jika dunia ini adil. Tapi belakangan, rasanya memang dunia tidak adil untuk saya. Saya mungkin terdengar seperti seorang perempuan melankolis yang berlebihan. Tapi Pernahkah Anda merasakan memiliki  untaian kata-kata, bulir-bulir konsep pemikiran, ataupun kasih sayang yang meruap yang tidak bisa diungkapkan? Rasanya semua ingin diledakkan. Tapi tidak ada tempat. Bukan karena tidak mau, tapi karena tidak ada tempat.

Ingin juga rasanya beranggapan jika dibalik ketidakadilan ini ada suatu makna. Tapi juga sulit. Saya sudah terlalu egois untuk melihat sisi terang dari ketidakadilan ini.
Saya lelah. Apakah hikmahnya?
Bukan, bukan itu pertanyaannya.
Adakah hikmahnya?


Saturday, 24 January 2015

Indonesia dan Militer

Beberapa hari yang lalu, banyak yang bertanya perihal pesawat tempur di akun Ask.Fm saya. Sebelumnya, saya memang tidak pernah membahas ataupun membuat tulisan tentang pesawat. Penyebabnya sederhana, karena saya bukanlah expert. Saya hanya kebetulan suka dengan hal-hal yang berkaitan dengan Aviasi. Oleh karena itu, sampai pada hari ini, ketertarikan saya kepada dunia aviasi hanya saya singgung sedikit-sedikit lewat akun Ask.Fm saya.

Saya akan mengajak Anda untuk membaca kembali sejarah pada kepemimpinan Soekarno. Bukan tentang proklamasi ataupun hal-hal yang tertulis di buku sejarah. Akan tetapi pada kekuatan militer pada era Bung Karno.

Pada era tahun 60-an, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekuatan militer yang ditakuti. Bahkan pada saat itu kekuatan militer eks-penjajah yaitu Negeri Kincir Angin (Belanda) sudah jauh terlampaui.  Indonesia didukung habis-habisan oleh Uni Soviet, dan fakta ini juga membuat Amerika Serikat sebagai rival dari Uni Soviet agak kelimpungan.

Kekuatan Udara Indonesia saat itu merupakan salah satu kekuatan udara yang cukup mematikan di dunia. Indonesia memiliki pesawat-pesawat tempur canggih dari Rusia. MiG-21 Fishbed, MiG-15 Gurevich, dan pesawat Mikoyan lain dimiliki Indonesia. Belum lagi helicopter dan juga pesawat angkut layaknya Antonov yang dimiliki Indonesia. Indonesia memang benar-benar ditakuti.

Akan tetapi, di awal tahun 2000, teknologi militer Indonesia mulai beralih ke teknologi Amerika. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, teknologi militer Indonesia kini sudah mulai beralih kembali ke Rusia. Meskipun sebagian besar dari teknologi masih disupply dari Amerika Serikat.

Menurut saya pribadi (perlu diingat saya hanya penikmat, bukan merupakan ahli), teknologi pesawat Rusia lebih terdepan dibanding Amerika. Ketahanan dan manuver yang bisa dilakukan oleh pesawat tempur Rusia jauh lebih baik. Mungkin saja, dulu, jika Uni Soviet tidak pecah, Amerika tidak akan menjadi seperti sekarang. Kekuatan militer Rusia sangat baik. Teknologi militernya pun cukup baik. Bukan hanya teknologi, secara individual pun angkatan bersenjata Rusia merupakan angkatan bersenjata yang sangat baik di dunia.

Kembali lagi ke Indonesia. Sebenarnya, saya memiliki harapan agar Indonesia lebih condong beralih ke teknologi militer Rusia. Indonesia harus kembali menjadi negara dengan kekuatan militer yang dinilai mematikan. Dengan kondisi politik di negara ini yang cukup berantakan, mungkin cukup sulit untuk mengembalikan predikat tersebut, mengingat lebih banyak interferensi pihak luar yang harus dilibatkan dibanding dengan kebutuhan negara sendiri.

Saya ingat, dulu, Kakek saya pernah berkata bahwa:

Kekuatan suatu negara bukan dilihat dari bagaimana negara tersebut berpolitik, kekuatan suatu negara dilihat dan dinilai dari kekuatan militernya.

Friday, 23 January 2015

Jakarta, 23-1-2015

Selamat Siang.
Hari ini saya akan kembali ke rumah. Setelah sekian lama berada di Ibukota. Akan kembali ke rumah, kembali melompat di atas kasur dan siap melelapkan mata.

Sejak hari pertama saya tiba di Jakarta, agaklah sulit untuk terbiasa, meskipun saya tahu hanya dalam kurun waktu satu bulan lebih satu minggu saya harus tinggal di Kota Metropolitan ini. Tapi sejak hari pertama, sejak malam pertama saya merenung melihat lampu-lampu yang tersebar di kota ini, saya ingin pulang. 

Sejak hari pertama, semuanya rasanya tidak familiar. Tidak seperti rumah. Karena memang bukan rumah. Saya terlalu tertekan, sulit rasanya untuk tertawa dari bangun sampai tertidur. Akan ada konflik ataupun rasa resah di antara waktu itu. Resah. Karena tidak seperti di rumah.

Hari ini saya pulang ke Bandung. Hati saya rasanya tidak seringan yang saya bayangkan. Saya pun bingung kenapa saya menjadi berat hati untuk pulang? 

Nampaknya saya tertaut. Bukan pada Jakarta. Tapi pada seseorang. Yang muncul di akhir, secara spontan dan tidak direncanakan. Tiba-tiba. Seseorang, yang tiba-tiba membuat semuanya terasa akrab dan familiar. 

Ah.
Jakarta, saya jadi benci padamu. 

Thursday, 22 January 2015

Zona Aman, Baik atau Buruk?

Halo, selamat siang laman favorit yang seringkali saya tinggalkan. Hari ini saya sempatkan untuk menulis disini, agak rindu juga menulis di laman ini meskipun entah ada yang membaca atau tidak.

Sebulan belakangan ini, saya sedang disibukkan dengan kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di salah satu perusahaan produsen minyak goreng di Indonesia. Saya gak akan bercerita tentang kegiatan PKL saya disini, karena saya lebih tertarik untuk bercerita tentang dinamika yang harus saya tempuh selama sebulan menjalani kegiatan ini.

Katakanlah saya sudah terlalu lama berada di lingkungan yang membuat saya nyaman. Dinamika sosial yang paling fluktuatif dalam hidup saya sejauh ini adalah semasa di bangku sekolah menengah. Anggaplah saya terlalu angkuh, akan tetapi, saya selalu berpegang teguh pada pemikiran "Jika saya bisa selamat dan bersosialisasi sewaktu dulu (sewaktu di sekolah menengah), saya akan baik-baik saja ke depannya, tidak perlu effort yang berlebih". 

Menginjak bangku kuliah. Dinamika sosial saya masih berada di batas aman. Masih ada beberapa orang yang memang menjadi tumpuan saya atas dasar kesamaan karakter dan latar belakang pendidikan (berasal dari sekolah menengah yang sama). Saya merasa aman. 

Tapi agaknya, saya ternyata terlalu angkuh untuk tidak terus belajar beradaptasi dan bersosialisasi. Dibuktikan pada hari pertama saya memulai praktek kerja lapangan. Biasanya sangat mudah untuk saya untuk mencairkan suasana atau akrab dengan orang lain. Tapi di hari pertama itu, rasanya sulit untuk memikirkan topik apa yang harus dilempar, atau bagaimana bahasa tubuh yang tepat untuk menghangatkan suasana.

Malamnya, saya merenung. Saya risau akan hari esok. Saya sendiri cukup kaget karena biasanya, berada di lingkungan baru bukan suatu masalah untuk saya. 

Akhirnya saya melakukan flashback ke belakang. Dan sedikit melakukan refleksi diri. Sampailah saya pada suatu kesimpulan bahwa saya memang selama ini selalu berada di wilayah nyaman. Sudah sekitar 2 tahun saya tidak berorganisasi dan tidak bertemu dengan banyak orang. Dan sudah hampir 4 tahun saya berada di lingkungan yang sama. Tidak mengenal orang baru maupun didorong ke lingkungan baru. Akan tetapi, berada di wilayah aman malah membuat saya jadi berhenti belajar sehingga saya lupa bagaimana rasanya bersosialisasi dan mengenal juga beradaptasi dengan orang-orang baru. Untungnya, saya hanya lupa. Karena beberapa hari setelah itu, saya bisa kembali mengingat bagaimana untuk beradaptasi.

Saya sadar sekarang, merasa aman bukan berarti Anda aman. Merasa aman bisa berarti Anda terlalu lama berada di zona aman. Dan setelah kejadian ini, saya pun sampai sekarang terus berpikir untuk keluar dari zona aman saya sendiri. Mental saya tidak terlatih selama ini karena terlalu lama berada di zona aman tanpa saya sadari. Berada di zona aman terlalu lama memunculkan adanya resistensi dari dalam diri saya dalam menyerap dan belajar. Resistensi ini menyebabkan tidak adanya tabungan yang cukup untuk saya dalam menghadapi fenomena-fenomena yang menghampiri saya yang bisa jadi menempatkan saya di luar zona aman.

Ya, begitulah kira-kira. 
Tapi sekarang, saya kembali dihantui oleh pertanyaan, bagaimana untuk keluar dari zona aman saya? 



Tuesday, 20 January 2015

Kategori Tidak Populer

Ada dua kategori masyarakat yang secara dangkal bisa saya simpulkan. Golongan populer dan tidak populer. Ya, saya sudah bilang bahwa itu adalah kesimpulan yang saya tarik secara dangkal. Tapi marilah untuk sejenak, jika Anda membaca ini, marilah sejenak bercerita dengan basis kesimpulan dangkal tersebut.

Dari dulu, sampai sekarang, saya selalu berada di dalam kategori golongan masyarakat non-populer. Saya selalu berada di belakang layar. Ikut tertawa tapi tidak pernah membuat orang lain tertawa. Ikut menimpali tapi tidak pernah memulai pembicaraan yang menarik. 


Ya. Saya hanya orang di belakang layar.

Saya hanya bisa mengagumi mereka dari jauh. Membaca rangkaian kata-kata yang mereka torehkan di laman-laman di dunia maya. Penasaran tapi hanya sebatas itu, mengenal tapi hanya secara virtual.  

Ah. Saya hanya titik. Di tengah ribuan titik lainnya dengan proporsi yang sama, ketebalan dan intensitas yang sama. Saya hanya titik, tidak signifikan dengan yang lain, dan tidak dapat dibedakan dari yang lain.

Saya hanya manusia, di tengah ribuan manusia yang lainnya. Dengan ilmu yang pas-pasan, dan kepribadian yang tidak pula mencolok dibanding yang lain. Saya hanya manusia, berjalan di tengah-tengah manusia yang lain. Berdiri, menonton lalu ikut bersorak.

Saya hanyalah saya, manusia di kategori non-populer, dengan keterbatasan ilmu dan juga kurang kemampuan bersosialisasi. 

Saya hanya titik. 
Dan tidak pernah berharap untuk menjadi lebih dari titik.
Karena lagi, saya hanyalah titik.
Insignifikan.


Another Milestone

This is a very late announcement, but anyway, I have finished my master's degree, folks! Yeah yeah I know, it has been roughly a month ...