Sunday, 4 September 2016

Sudah Saatnyakah?

Hari ini hari Minggu. Semalam aku pulang cukup larut, yang tentunya dapat diprediksi dengan perdebatan sengit antara aku dan Ibu. Niatku keluar hanya untuk mengurusi kebutuhan Ibu, akan tetapi kupikir apa salahnya kalau aku mencari udara segar sendirian di tengah keramaian Kota Bandung. Singkat cerita, aku pulang terlalu larut. Meninggalkan Ibuku yang cemas, terus-terusan meneleponku tiap lima sampai sepuluh menit sekali.

Sepanjang jalan aku ijak pedal gas dalam-dalam, akan tetapi padatnya jalanan tidak jadi membuatku sampai lebih cepat. Dalam hati aku menggerutu, jalanan masih ramai dan riuh, mengapa Ibu sangat ketakutan? 

Sesampainya di rumah, benar saja, kedua bibir itu sudah melengkung ke bawah, lengkap juga dengan kerutan di antara dua matanya. Tidak akan selesai meski aku sudah di rumah, batinku. Benar saja, bertubi-tubi petuah kemudian dilontarkan Ibu. Dari menuduhku dengan kecerobohan manajemen waktu, sampai keluhan bahwa Ibu tidak bisa tidur, dilanjut dengan ancaman kalau seperti ini lagi umur Ibu bisa memendek 10 tahun. 

Aku melengos. Membatin sendiri. Ini pertama kalinya lagi aku keluar di malam minggu sendirian dalam tahun ini. Aku tergolong orang yang sering diam di rumah. Tanpa keterpaksaan, karena memang aku suka berada di rumah. Leyeh-leyeh. Akan tetapi, kegiatan dan teman-teman baru yang kudapatkan baru-baru ini membuatku ingin menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah, hanya untuk bertukar pikiran atau menghabiskan beberapa jam hanya untuk bersenda gurau. Sesekali. Aku kesal, kenapa malam ini jadi terlalu dibesar-besarkan? Seakan-akan aku sering sekali membuat Ibuku terjaga, dengan hati yang berdegup kencang menungguku pulang. Padahal sama sekali tidak. Apa dayaku yang hanya bisa diam mendengar semua nasihat dan keluhannya yang bisa dibilang tidak adil. Aku diam, dan akhirnya aku tertidur.

Pagi ini, Ibu kembali mengungkit masalah ini. Sudah kucoba menghindar dengan pergi pagi-pagi buta untuk mencuci mobil. Akan tetapi, layaknya rekaman yang disimpan dan bisa diputar kapan saja, Ibu ingat saja waktu aku pulang. Akan tetapi, bukan nasihat dan keluhan lagi. 

"Kamu cari pacar, dong. Biar kalau mau malam mingguan bisa bebas"

Aku tertegun. Umurku masih 23 tahun, baru lulus pendidikan Sarjana Strata 1 bulan Maret kemarin dan sekarang baru 2 minggu menjalani pendidikan pasca-sarjana. Ya, memang benar aku masih sendiri. Karena merasa risih, aku timpali sekenanya, "Mamah riweuh, malam minggu tuh jalanan masih rame mah, lagian masa punya pacar cuma buat malam mingguan aja".

Ibuku hanya tersenyum, masih ingin berbicara tapi terlihat enggan. Ibuku tahu, tidak perlu didebat lagi, aku sudah berpikir.

Selama 2 tahun ini aku memang sendiri. Tidak ada kekasih atau yang biasa disebut pacar. Hubungan terakhirku kandas setelah hampir 2 tahun dirajut. Ceritanya rumit, malas untuk kurunut. Sebulan dua bulan pertama semejak putus saat itu, masih kuingat betapa nelangsanya hari-hari kujalani. Sepi rasanya. Akan tetapi setelah itu sampai sekarang, aku rasa tidak begitu mengganggu. 

Aku besar sebagai anak terakhir dari dua bersaudara. Banyak yang bilang anak bungsu dimanja and I can't argue with that. Tetapi, perlu diingat semanja-manjanya aku di rumah ini, Ayahku tetap tidak memanjakanku, paling tidak manja dalam standar umum. Aku terbiasa melakukan semuanya sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Duduk di cafe terdekat ataupun pulang malam dengan kendaraan sendiri sudah menjadi hal yang lumrah untukku. 

Sangat asing mendengar Ibu bicara tentang pacar sebagai teman malam minggu. Karena untukku arti kekasih lebih dari sekedar partner malam minggu. Aku tidak butuh ditemani pulang, tidak butuh diantar-antar. Seketika aku merasa hampa. Kekasih, sudah berapa lama aku lupa apa arti kekasih. Aku lupa rasanya bisa bertukar pikiran, lupa rasanya punya seseorang yang bisa mengarahkanku kemana harus berjalan saat aku kebingungan. Lupa juga rasanya bisa bersenda gurau sampai larut malam, melepas penat dengan senyum selebar-lebarnya. Lupa rasanya mengharapkan pandangan lain, pandangan dari seseorang yang berarti. Sedikit rindu juga pikirku.

Sekarang aku dilanda ketakutan. Setelah 2 tahun sendiri, aku takut menjadi terlalu hebat menjadi sendiri. Takut tumbuh menjadi wanita yang bebal dan tidak bisa mendengarkan orang lain. Takut merasa tidak butuh lelaki untuk sekedar berdiri.

Ah.
Sudah saatnya kah aku membuka mata dan mulai mencari?

No comments:

Post a Comment

Another Milestone

This is a very late announcement, but anyway, I have finished my master's degree, folks! Yeah yeah I know, it has been roughly a month ...