Saturday, 15 February 2014

Sabtu Malam

Sabtu, 19.00
Hari ini hari Sabtu, seperti biasa aku terduduk di restoran ini. Mencoba melepas penat, dari 5 hari kerja yang telah kulalui. Bingung, seharusnya aku beristirahat di rumah, tertidur, atau mencoba untuk tertidur dengan meminum teh chamomile hangat. Tapi tidak, kebiasaan sudah memutar balikkan apa yang seharusnya kulakukan, aku memilih mengistirahtkan otakku disini, di tengah keramaian restoran ini. Melihat dinamika-dinamikan kehidupan malam yang terjadi disini, di meja terkecil di dekat pintu yang berderit saat ada pengunjung yang masuk.

Ah, ini dia. Wanita ini datang lagi. Hampir sama sepertiku, selalu dirinya datang setiap hari Sabtu, sendiri, pakaian berwarna biru, memesan satu cangkir susu, dan duduk di meja nomor satu. Hanya terduduk, menunggu. Entah apa yang ditunggu-nya, akan tetapi wajahnya selalu terlihat cemas. Pernah kutanya seorang waiter yang hendak mengisi ulang Ocha-ku. Katanya, dulu, wanita itu terus-terusan kesini, berharap adiknya yang seorang penerbang datang, pulang dari perantauan. Katanya juga, sebenarnya Adiknya sudah meninggal, kecelakaan saat menerbangkan pesawat chesna. Tapi wanita itu tidak pernah bisa menerima kenyataan, terus datang setiap hari Sabtu, berharap adiknya pulang. Adiknya berpesan bahwa Ia harus memakai baju berwarna biru saat nanti adiknya pulang, jadi terus terusan wanita itu datang, setiap sabtu, memakai baju biru, duduk di meja nomor satu.

Lalu 5 menit kemudian, pasti... Ah! benar dugaanku, pria ini datang. Rautnya selalu lelah, pasti terduduk di bar restoran. Biasanya dia memesan secangkir kopi hitam. Lagi-lagi Ia buka laptopnya, masih dengan raut yang lelah. Terkadang aku heran, untuk apa terus bekerja, kalau rautmu sudah terlalu lelah begitu? Tapi anehnya, setiap Ia membuka laptopnya, Ia tertawa, tersenyum, jari-jarinya terus terusan berlarian..

Jantungku berdegup kencang sebentar lagi dia datang. Dan benar saja, dia datang. Dia yang selalu datang dengan wangi musk. Dia yang selalu datang dengan ayunan langkah riang. Dia yang selalu melemparkan senyumannya kepadaku sembari membuka pintu. Dia yang akan selalu datang ke sudut restoran ini, duduk, lalu meminta menu. Dia, yang lalu menyambut hangat gadis yang datang tak lama kemudian, mengecupnya lalu terus-terusan tertawa sampai akhirnya aku pun lelah, dan akhirnya aku pulang.

Iya, aku sama menyedihkannya dengan wanita biru, dan si pria raut lelah. Berharap-harap akan yang tak pasti. Dan meskipun aku tahu lelahku akan betambah setelah dari sini, aku terus-terusan datang, mengatasnamakan ingin melihat dinamika kehidupan malam.

Padahal, aku hanya senang berada disini, seperti berkaca, dan meyakinkan diriku bahwa masih ada harapan.

Sabtu, 22.30

Senyumnya sudah cukup untukku, meskipun bukan untukku. Senyumnya sudah cukup untukku, untuk menjadi amunisi 5 hari kerja berikutnya.




Ayah

Baru beberapa hari yang lalu, dua hari berturut-turut saya diantar oleh Ayah ke kampus. Pagi-pagi buta, beliau sudah siap duduk di ruang makan, siap untuk mengantar saya, padahal saya sendiri masih setengah tertidur, berpiyama dan hendak mengambil handuk. Iya, Ayah memang orang yang paling disiplin yang pernah saya kenal, tidak hanya itu, Ayah, menurut saya, adalah orang yang sangat terorganisir dan sangat rapi. Sebagian besar kedisiplinan yang ada pada diri beliau terbentuk karena Kakek. Kakek (yang sering saya dengar dari cerita Nenek), dulunya adalah Anggota Angkatan Laut Jepang, lalu saat Jepang kalah dalam Perang Dunia Ke-2, beliau dihadapkan kepada dua pilihan, ikut bergabung bersama Jepang, atau bergabung dengan NKRI. Pada dasarnya, Kakek jugalah yang membentuk kepribadian Ayah yang seperti ini. Sebagian besar lagi karakter kedisiplinan Ayah dibentuk dari Pendidikan Militer yang diikutinya selepas sarjana. Saat itu beliau memilih jalur Sepamilwa (sekarang Prajurit Karir), memang hanya selama 8 bulan, tetapi cukup membentuk karakternya yang sangat keras. Ayah juga merupakan sosok yang sangat mandiri. Lulus SMA langsung merantau ke Kota Bandung. Lalu selepas berkeluarga pun, selama 13 tahun harus dinas di Jakarta (saya sekeluarga berdomisili di Bandung), hidup sendirian di Mess khusus. Memang, sekarang Ayah sudah kembali ditempatkan di Bandung, tetapi kedisiplinan dan kemandiriannya sudah sangat melekat dan beliau sendiri pun sudah sangat terbiasa dengan itu. 
Lalu apa kaitannya semua monolog saya tentang ayah di atas?

Well, saya mungkin perempuan tapi obsesi saya dari kecil adalah untuk menjadi seperti Ayah.

Bukan dalam artian harus menjadi orang yang terjun di bidang ke-militer-an. Akan tetapi, saya ingin menjadi pribadi yang sangat independen, dan disiplin seperti Ayah. Mungkin saat ini, telah banyak sifat dan kebiasaan Ayah yang diturunkan kepada saya, akan tetapi, saya ingin 100% seperti ayah, dalam hal independen dan mandiri, juga disiplin.

Ayah bisa dikatakan sangat neat-freak, hanya setitik noda di dinding atau segumpal debu di lantai bisa membuat beliau cerewet setengah mati. Kadang juga orang rumah dibuat jengkel dengan sifatnya yang ini. Akan tetapi, akhir-akhir ini aku kagum akan sifat beliau yang satu ini, siapa lagi yang akan sadar dan aware dan berpikir panjang kalau debu itu nanti bisa membuat sulit pernapasan bila dibiarkan? atau setitik noda itu akan membesar dan membuat biaya pembersihanya semakin besar? Ah, Ayah memang benar-benar rapi.


Lalu saya teringat salah satu pertanyaan yang diberikan pada saya hampir setahun yang lalu, saat saya sedang melakukan fit and proper test untuk pencalonan diri menjadi Ketua Himpunan. Pertanyaan-nya sangat sederhana: 

"Siapakah pemimpin idolamu?"

mendadak saya merasa sangat bodoh. saat itu saya menjawab "Soekarno", karena sifatnya yang idealis, dan tahu betul apa yang dibutuhkan negaranya.

Harusnya tidak perlu jauh-jauh, meskipun (akan) terdengar seperti pencitraan, tetapi seharusnya jawaban saya adalah:  "Ayah."

Saturday, 8 February 2014

Dari Kejauhan, Aku Memandangmu

Dari kejauhan aku memandangmu. Hanya dari beberapa gambar dirimu yang kutemukan susah payah. Katanya suka karena biasa, tapi aku suka karena belum terbiasa. Belum pernah aku mengenalmu, bertukar salam pun tak pernah. Hanya namamu yang sering kudengar dulu. Terus terusan kudengar sampai rasanya tak asing lagi. 

Tetapi kini aku memandangmu, hanya dari beberapa gambar dirimu yang kutemukan susah payah. Rasanya tidak asing, maka kucoba berkata sapa. Kau menjawabku. Kini rasanya menjadi asing. Tapi tetap aku memandangmu. Berhari-hari ini telah kulakukan terus menerus.  Mencoba mengingat apa yang kukenal darimu.

Kau terlalu jauh. Tapi anganku tak mau berhenti untuk terus berlari. Terus berangan-angan akan dirimu dan aku. Mungkin aku sudah gila. Karena aku terus terusan memandangmu, dari beberapa gambar dirimu yang kutemukan susah payah.

Mungkin kau dan aku tak akan pernah bersatu, meskipun pada akhirnya kita bertemu. Mungkin pula ini hanya sekadar pikiranku, yang sepertinya tak mau berhenti mencari tahu tentangmu. Mungkin pula ini akan berakhir dengan pikiranku lagi, yang akhirnya berhenti lalu berpindah ke lain hati.
Tapi untuk saat ini, aku akan tetap memandangmu, terus-terusan sampai kau terbawa dalam mimpiku. Hanya dari beberapa gambar dirimu, yang kutemukan dengan susah payah.


Februari,  2014.

23.10

Sepatah Dua Patah Kata

Mencoba beralih ke laman baru ini. Agaknya belum terlalu terlambat untuk memulai sesuatu yang baru. Tidakkah menyenangkan bisa memulai semuanya dari awal, kertas yang bersih, dan pikiran baru yang masih segar dan siap untuk dipacu? Laman ini kudedikasikan untuk karyaku, dan pikiranku.


Februari, 2014

Another Milestone

This is a very late announcement, but anyway, I have finished my master's degree, folks! Yeah yeah I know, it has been roughly a month ...