Sabtu, 19.00
Hari ini hari Sabtu, seperti biasa aku terduduk di restoran ini. Mencoba melepas penat, dari 5 hari kerja yang telah kulalui. Bingung, seharusnya aku beristirahat di rumah, tertidur, atau mencoba untuk tertidur dengan meminum teh chamomile hangat. Tapi tidak, kebiasaan sudah memutar balikkan apa yang seharusnya kulakukan, aku memilih mengistirahtkan otakku disini, di tengah keramaian restoran ini. Melihat dinamika-dinamikan kehidupan malam yang terjadi disini, di meja terkecil di dekat pintu yang berderit saat ada pengunjung yang masuk.
Ah, ini dia. Wanita ini datang lagi. Hampir sama sepertiku, selalu dirinya datang setiap hari Sabtu, sendiri, pakaian berwarna biru, memesan satu cangkir susu, dan duduk di meja nomor satu. Hanya terduduk, menunggu. Entah apa yang ditunggu-nya, akan tetapi wajahnya selalu terlihat cemas. Pernah kutanya seorang waiter yang hendak mengisi ulang Ocha-ku. Katanya, dulu, wanita itu terus-terusan kesini, berharap adiknya yang seorang penerbang datang, pulang dari perantauan. Katanya juga, sebenarnya Adiknya sudah meninggal, kecelakaan saat menerbangkan pesawat chesna. Tapi wanita itu tidak pernah bisa menerima kenyataan, terus datang setiap hari Sabtu, berharap adiknya pulang. Adiknya berpesan bahwa Ia harus memakai baju berwarna biru saat nanti adiknya pulang, jadi terus terusan wanita itu datang, setiap sabtu, memakai baju biru, duduk di meja nomor satu.
Lalu 5 menit kemudian, pasti... Ah! benar dugaanku, pria ini datang. Rautnya selalu lelah, pasti terduduk di bar restoran. Biasanya dia memesan secangkir kopi hitam. Lagi-lagi Ia buka laptopnya, masih dengan raut yang lelah. Terkadang aku heran, untuk apa terus bekerja, kalau rautmu sudah terlalu lelah begitu? Tapi anehnya, setiap Ia membuka laptopnya, Ia tertawa, tersenyum, jari-jarinya terus terusan berlarian..
Jantungku berdegup kencang sebentar lagi dia datang. Dan benar saja, dia datang. Dia yang selalu datang dengan wangi musk. Dia yang selalu datang dengan ayunan langkah riang. Dia yang selalu melemparkan senyumannya kepadaku sembari membuka pintu. Dia yang akan selalu datang ke sudut restoran ini, duduk, lalu meminta menu. Dia, yang lalu menyambut hangat gadis yang datang tak lama kemudian, mengecupnya lalu terus-terusan tertawa sampai akhirnya aku pun lelah, dan akhirnya aku pulang.
Iya, aku sama menyedihkannya dengan wanita biru, dan si pria raut lelah. Berharap-harap akan yang tak pasti. Dan meskipun aku tahu lelahku akan betambah setelah dari sini, aku terus-terusan datang, mengatasnamakan ingin melihat dinamika kehidupan malam.
Padahal, aku hanya senang berada disini, seperti berkaca, dan meyakinkan diriku bahwa masih ada harapan.
Sabtu, 22.30
Senyumnya sudah cukup untukku, meskipun bukan untukku. Senyumnya sudah cukup untukku, untuk menjadi amunisi 5 hari kerja berikutnya.