Tuesday, 3 March 2015

Renungan Selimut

Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan untuk menghadiri acara wisuda dari beberapa teman baik sewaktu SMA. Acara wisuda tersebut diadakan bukan di Gedung Serba Guna Universitas Katolik Parahyangan (GSG) seperti tahun-tahun sebelumnya, melainkan acara wisuda diadakan di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga).  Dalam kesempatan kali ini, saya tidak akan bercerita tentang bagaimana sulitnya menghadiri acara wisuda di tempat yang tidak familiar, atau tentang bagaimana sulitnya mencari pintu keluar wisudawan dan wisudawati untuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan fakultas lainnya. Bukan juga untuk menceritakan bagaimana sialnya hari itu karena persis sepulang dari acara tersebut saya mengalami kecelakaan yang mengharuskan saya berkeliling separuh Bandung di hari Sabtu (yang kondisinya dapat ditebak: macet) untuk menemukan bengkel. Bukan, bukan hal sepele tersebut yang ingin saya curahkan disini.

Sepulang dari hari yang panjang tersebut, tidak ada yang istimewa dari rutinitas di malam harinya. Menunggu kedua orang tua sampai di rumah untuk kemudian diberikan wejangan tentang perlunya berhati-hati dalam berkendara. Selebihnya, yang saya ingat dari sisa hari tersebut adalah diri sendiri yang meringkuk di bawah selimut, berpikir keras.

Saya terus berpikir dan mengingat. Mengulang-ulang memori di pagi hari saat saya memberikan bunga-bunga cantik kepada teman-teman yang juga tidak kalah cantik dan manis di hari istimewa mereka tersebut. Mereka telah meraih sesuatu. Saya ingat seorang teman baik, yang berada dalam satu kelas dengan saya selam dua tahun terakhir di bangku SMA. Kemampuan saya dan dia dalam bidang akademik tidak terlampau jauh. Pada akhirnya kami berada di kampus yang sama, akan tetapi berada di program studi yang berbeda. Dia di Ekonomi (Akuntasi) dan saya di FTI (Teknik Kimia). Di awal perkuliahan, kami sama-sama terpuruk, dikarenaka tidak berhasil masuk ke program studi yang kami inginkan. Akan tetapi, pada akhirnya dia berhasil lulus dengan IPK yang cukup tinggi dalam kurun waktu yang cukup cepat. Lalu adapula teman baik yang berada di program studi Hubungan Internasional, lulus dengan IPK 3,65 dan (juga) dengan kurun waktu yang cukup cepat. Belum lagi mengingat teman teman di Universitas lain yang sebelumnya juga sudah sampai pada tahap wisuda. Dan tidak hanya dalam bidang akademik, teman-teman lain pun sudah cukup banyak yang mencapai suatu pencapaian tertentu di bidang masing-masing.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri,  apa yang sudah saya capai selama ini? Pertanyaan tersebut cukup membuat saya tertegun lama. Kehidupan kuliah saya biasa-biasa saja. Secara akademik, saya tidak bodoh akan tetapi tidak pula mencapai suatu prestasi yang gemilang. Secara non-akademik, saya hanya pernah menjabat sebagai staff Lembaga Kepresidenan Mahasiswa (Badan Eksekutif Mahasiswa), dan itupun hanya memegang satu acara yang bahkan tidak terlalu “populer” di kalangan mahasiswa. Saya gagal dalam pencalonan Ketua Himpunan dan semenjak saat itu, saya tidak lagi menjadi sesuatu yang memegang peranan penting di wilayah kampus. Saya tidak brilian, rasanya tidak ada pencapaian yang saya raih selama hampir 4 tahun berada bangku kuliah. Fakta ini membuat saya sangat gusar. Saya merasa penilaian orang orang kepada saya jauh lebih tinggi dibandingkan apa yang ada di diri saya sebenarnya. Hal itu membuat tekanan yang ada dalam diri semakin tinggi. Tidak ada pencapaian, dan tidak ada bukti bahwa saya memenuhi standar penilaian orang-orang terhadap saya.

Saya terus berpikir. Pada akhirnya saya mencapai sebuah kesimpulan, bahwa saya lupa bahwa saya memiliki goal atau tujuan. Hal ini lah yang membuat saya merasa bahwa selama ini tidak ada pencapaian yang saya raih. Dari tahun ketiga di kuliah, saya sudah membulatkan tekad untuk melanjutkan studi jenjang magister setelah lulus menjadi sarjana. Meskipun masih mencari ingin melanjutkan pada fokus studi apa, akan tetapi tujuan saya selanjutnya adalah melanjutkan S2. Baik itu bisnis, hukum maupun kembali mendalami teknik kimia. Saya lupa bahwa saya memiliki tujuan tersebut. Dan yang paling bahaya, saya tidak sabar. Sepertinya akan lebih mudah bagi saya untuk menyampaikan hal-hal ini dengan meringkasnya menjadi poin-poin:
1. Pertama, saya merasa tidak memiliki pencapaian apapun selama ini. Padahal, hal itu bisa saya rasakan karena saya sendiri tidak memiliki tujuan, sehingga saat mencapai sesuatu, rasanya seperti bukan apa-apa. Sebagai contoh, saya merasa menjadi staff LKM bukan merupakan pencapaian, padahal jika saya memiliki tujuan (sebagai contoh tujuan saya untuk berorganisasi), maka menjadi staff LKM dirasa merupakan bukan suatu pencapaian.
2.    Kedua, setelah lebih dalam lagi merenung, ternyata saya punya satu tujuan, yaitu melanjutkan S2. Bukan, ini bukan merupakan rencana, karena melanjutkan S2 merupakan pilihan dan belum tentu semua orang ingin melakukannya. Saya ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang S2.
3.    Terakhir, saya sadar bahwa saya tidak sabar dalam menghadapi proses ini. Secara tidak sadar, saya sedang dalam proses menuju tujuan saya tersebut dengan menyelesaikan terlebih dahulu program sarjana yang sedang saya jalani. Saya tidak sabar, karena itu saya merasa saya tidak membuat progress dan tidak menjalani proses, padahal setiap harinya saya melakukan hal-hal tersebut.

Agaknya sangat tidak valid apabila saya memberikan tips bagaimana mencapai goals, karena saya pun masih berusaha untuk mengingat dan mencapai goal milik saya sendiri. Akan tetapi, jika diperbolehkan memberi sedikit masukan, berikut yang ingin saya sampaikan:
1.  Jangan membandingkan diri dengan orang lain. Saat saya melihat teman-teman yang telah lulus dengan waktu yang singkat, saya membandingkan diri dengan mereka dan pada akhirnya saya merasa tidak memiliki pencapaian apapun. Padahal, goal ataupun tujuan saya berbeda dengan mereka. Mungkin mereka sudah mencapai goal yang mereka tetapkan, dan saya belum. Tapi perlu diingat bahwa goal yang saya tetapkan pun berbeda dengan mereka. Saya bukan tipe orang yang optimis saat membandingkan diri, dan untuk orang dengan tipe kepribadian seperti saya, membandingkan diri dengan orang lain hanya akan menghasilkan pemikirian pemikiran destruktif.
2.    Patience is the key. Sabar adalah kuncinya. Jangan terburu-buru, karena dengan terburu-buru maka akan menghasilkan tindakan yang tidak berarti.
3.     Hargai proses dan progress yang sudah terjadi, sedikit apapun itu.


Hal tersebut merupakan hasil dari renungan saya di bawah selimut. Saya yakin jikalau ada yang membaca ini, belum tentu tulisan ini akan membantu. Oleh karena itu, hal terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, selamat berjuang untuk saya, dan Anda yang membaca ini, semoga saya dan Anda dapat menjadi seseorang dengan tujuan yang satu persatu dapat dicapai.

Another Milestone

This is a very late announcement, but anyway, I have finished my master's degree, folks! Yeah yeah I know, it has been roughly a month ...