Matahari merengkuh
pagi, hangatnya memeluk bumi dengan anggun. Dedaunan pun terlihat masih
bercinta dengan tetesan embun. Kau masih disana, terbalut bersihnya selimut
putih yang selalu kau tarik menutupi mulutmu. Lucu, kakimu selalu tidak
kebagian lembutnya selimutmu. Rambutmu tergerai penuh mengisi bantal yang
lagi-lagi berwarna putih. Matamu masih tertutup, damai tenang tak bergeming.
Kadang aku berpikir apa yang terjadi di balik kedua kelopak mata itu. Tak
jarang pula aku mematung, berimajinasi akankah aku ada di dalamnya? Berlarian
dalam padang bunga yang luas terbentang? Atau mungkin duduk di pasir putih
memandang indahnya laut biru? Ah,
entahlah. Wajahmu, damai. Rasanya bisa kuhabiskan seribu tahun hanya dengan
memandang air wajahmu saat kau tertidur.
Aku tetap disini, 20
menit sebelum kau bangun, aku selalu tetap disini. Rutinitas pagi yang harus
aku lakukan layaknya secangkir teh yang kau tambahkan dua sendok susu cair,
tanpa gula. Ini bagaikan candu, tapi inilah yang harus aku lakukan di setiap
pagi. Bukan, bukan menyantap sereal jagung atau dua lembar roti. Tapi
memandangmu, di 20 menit sebelum kau bangun.
Dua bola mata itu mulai
terlihat. Semakin lama semakin besar. Cerah.
Kau menyapaku. Riang, tanpa suara. Aku dan kau berpandangan, dalam diam. Selalu
seperti itu. Lalu dua bibirmu akan mulai bergerak, tersenyum. Aku tidak akan
bergeming, akan terus menatapmu. Lalu hatiku berdegup kencang. Ah, sudah ratusan bahkan ribuan kali pagi
yang kulewati bersamamu, tetap saja hati ini selalu berusaha melompat keluar
saat melihat senyumu. Nyali dibuat ciut. Wajahmu mendekat. Bisa kurasakan aroma
nafasmu. Aku bertaruh hanya kaulah satu-satunya manusia di dunia yang memiliki
aroma seindah itu di pagi hari. Lalu kau menciumku, singkat. Dan lagi, aku dan kau
berpandangan.
“Ayo ke dapur, kita
sarapan. Aku mau bikin teh dulu ya” kau berseru. Sambil mengapit tanganku dan
setengah menariknya.
Kau tidak pernah tahu,
aku tak peduli apa yang terjadi setelah kecupan itu. Semuanya kuanggap hanyalah
iklan. Tak berarti. Bagian terfavoritku dalam setiap hari. Rutinitas singkat
yang tidak pernah bosan aku lakukan. Dosis yang harus aku minum di setiap pagi.
Memandang, berpandangan, aroma nafasmu, dan kecupanmu. Kontras dengan mungkin
mayoritas orang lain pada umumnya yang membenci rutinitas pagi, aku cinta
rutinitas pagiku.
Aku tak pernah
mengutarakan semua ini padamu. Sekalipun ikatan telah ada antara kau dan aku,
disimbolkan dengan cincin yang melingkar di jari manismu dan aku. Tidak, kau
tidak boleh tahu. Jika kau tahu, semuanya tidak akan sama lagi. Tidak akan.
Sama seperti saat pertama kali aku bilang bahwa aku menyukai rambut hitam
ikalmu. Sampai sekarang setiap hari kau patut dirimu di cermin, mengikalkan
rambutmu yang memang sudah ikal sempurna. Sama juga seperti saat pertama aku
mengelus pipi merah meronamu. Kau bubuhkan perias agar tampak lebih merona.
Tidak, aku tidak mau itu semua. Pernah aku bilang jangan terlalu mematut dirimu
karena aku mencintaimu apa adanya. Lalu kau meradang. Marah. Beranggapan bahwa
aku tidak menghargai usahamu untuk membuatku bahagia dengan terlihat cantik.
Sejak saat itu kubiarkan kau selalu mematut diri.
Tapi tahukah kau? 20
menit sebelum kau bangun. Rambut ikalmu yang
tergerai tak beraturan. Wajahmu yang sayu, kelelahan tapi damai dalam
tidur. Itulah yang aku cinta dan yang membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.
Damaiku. Tenangku. Hangatku. Ah, tidak. Kau tidak boleh tahu.
Kau, dan pagi hari
adalah gabungan dari segala keindahan yang pernah aku tau. Jika bisa, ingin
rasanya memohon pada semesta untuk melambatkan 20 menit di setiap pagi itu.
Untuk selalu jatuh cinta.
Pada
pagi, dan padamu.