Saturday, 29 November 2014

Pagi

Matahari merengkuh pagi, hangatnya memeluk bumi dengan anggun. Dedaunan pun terlihat masih bercinta dengan tetesan embun. Kau masih disana, terbalut bersihnya selimut putih yang selalu kau tarik menutupi mulutmu. Lucu, kakimu selalu tidak kebagian lembutnya selimutmu. Rambutmu tergerai penuh mengisi bantal yang lagi-lagi berwarna putih. Matamu masih tertutup, damai tenang tak bergeming. Kadang aku berpikir apa yang terjadi di balik kedua kelopak mata itu. Tak jarang pula aku mematung, berimajinasi akankah aku ada di dalamnya? Berlarian dalam padang bunga yang luas terbentang? Atau mungkin duduk di pasir putih memandang indahnya laut biru? Ah, entahlah. Wajahmu, damai. Rasanya bisa kuhabiskan seribu tahun hanya dengan memandang air wajahmu saat kau tertidur.

Aku tetap disini, 20 menit sebelum kau bangun, aku selalu tetap disini. Rutinitas pagi yang harus aku lakukan layaknya secangkir teh yang kau tambahkan dua sendok susu cair, tanpa gula. Ini bagaikan candu, tapi inilah yang harus aku lakukan di setiap pagi. Bukan, bukan menyantap sereal jagung atau dua lembar roti. Tapi memandangmu, di 20 menit sebelum kau bangun.
Dua bola mata itu mulai terlihat. Semakin lama semakin besar. Cerah. Kau menyapaku. Riang, tanpa suara. Aku dan kau berpandangan, dalam diam. Selalu seperti itu. Lalu dua bibirmu akan mulai bergerak, tersenyum. Aku tidak akan bergeming, akan terus menatapmu. Lalu hatiku berdegup kencang. Ah, sudah ratusan bahkan ribuan kali pagi yang kulewati bersamamu, tetap saja hati ini selalu berusaha melompat keluar saat melihat senyumu. Nyali dibuat ciut.  Wajahmu mendekat. Bisa kurasakan aroma nafasmu. Aku bertaruh hanya kaulah satu-satunya manusia di dunia yang memiliki aroma seindah itu di pagi hari. Lalu kau menciumku, singkat. Dan lagi, aku dan kau berpandangan.
“Ayo ke dapur, kita sarapan. Aku mau bikin teh dulu ya” kau berseru. Sambil mengapit tanganku dan setengah menariknya.

Kau tidak pernah tahu, aku tak peduli apa yang terjadi setelah kecupan itu. Semuanya kuanggap hanyalah iklan. Tak berarti. Bagian terfavoritku dalam setiap hari. Rutinitas singkat yang tidak pernah bosan aku lakukan. Dosis yang harus aku minum di setiap pagi. Memandang, berpandangan, aroma nafasmu, dan kecupanmu. Kontras dengan mungkin mayoritas orang lain pada umumnya yang membenci rutinitas pagi, aku cinta rutinitas pagiku.

Aku tak pernah mengutarakan semua ini padamu. Sekalipun ikatan telah ada antara kau dan aku, disimbolkan dengan cincin yang melingkar di jari manismu dan aku. Tidak, kau tidak boleh tahu. Jika kau tahu, semuanya tidak akan sama lagi. Tidak akan. Sama seperti saat pertama kali aku bilang bahwa aku menyukai rambut hitam ikalmu. Sampai sekarang setiap hari kau patut dirimu di cermin, mengikalkan rambutmu yang memang sudah ikal sempurna. Sama juga seperti saat pertama aku mengelus pipi merah meronamu. Kau bubuhkan perias agar tampak lebih merona. Tidak, aku tidak mau itu semua. Pernah aku bilang jangan terlalu mematut dirimu karena aku mencintaimu apa adanya. Lalu kau meradang. Marah. Beranggapan bahwa aku tidak menghargai usahamu untuk membuatku bahagia dengan terlihat cantik. Sejak saat itu kubiarkan kau selalu mematut diri.

Tapi tahukah kau? 20 menit sebelum kau bangun. Rambut ikalmu yang  tergerai tak beraturan. Wajahmu yang sayu, kelelahan tapi damai dalam tidur. Itulah yang aku cinta dan yang membuatku jatuh cinta lagi dan lagi. Damaiku. Tenangku. Hangatku. Ah, tidak. Kau tidak boleh tahu.
Kau, dan pagi hari adalah gabungan dari segala keindahan yang pernah aku tau. Jika bisa, ingin rasanya memohon pada semesta untuk melambatkan 20 menit di setiap pagi itu. Untuk selalu jatuh cinta.

Pada pagi, dan padamu.

Another Milestone

This is a very late announcement, but anyway, I have finished my master's degree, folks! Yeah yeah I know, it has been roughly a month ...